Kamis, 19 Mei 2011

Manakib Syaikh Abu Bakar Bin Salim


Syeikh Abubakar bin Salim RA dilahirkan pada tanggal 13 Jumadil Akhir 919 H di kota Tarim Al-Ghanna’, Yaman. Beliau tumbuh dewasa menjadi seorang tokoh sufi yang masyhur sekaligus seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya.

Demi kepentingan pendidikan dan pengembangan dakwah, beliau berhijrah ke kota ‘Inat yang terletak tidak jauh dari Tarim. Beliau mendirikan sebuah mesjid dan membeli tanah pekuburan yang luas. Beliau hidupkan kota ‘Inat dengan ilmu, yaitu dengan mengajar, mendidik dan membimbing. Manusia datang dari berbagai pelosok daerah guna menuntut ilmu dari beliau sehingga ‘Inat menjadi kota yang padat penduduknya. Murid-murid beliau datang dari berbagai kota di Yaman, dan juga dari mancanegara, misalnya: Syam, India, Mesir dan berbagai negara lainnya.

 



Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat tawadhu, tidak ada seorang pun yangpernah melihat beliau duduk bersandar ataupun bersila. Syeikh Abdurrahman bin Ahmad Baa Wazir, seorang yang faqih, berkata, “Sejak 15 tahun sebelum wafatnya, di dalam berbagai majlisnya, baik bersama kaum khusus ataupun awam, Syeikh Abubakar bin Salim tidak pernah terlihat duduk, kecuali dalam posisi duduknya orang yang sedang tasyahud akhir.”

Karena budi pekerti yang luhur ini, masyarakat sangat mencintai beliau. Nama beliau menjadi tersohor ke seluruh penjuru dunia. Selain para muridnya, banyak sekali orang-orang yang datang untuk menimba ilmu dari beliau. Mereka datang terhormat dan pulang pun dengan terhormat.

Semangatnya dalam Menuntut Ilmu dan Beribadah

Sejak kecil beliau telah hafal Quran. Beliau menuntut ilmu dari Sayid Umar Ba Syaiban, Al Faqih Abdullah bin Muhammad Baa Makhramah dan Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Ba Jamal As-Syibami Ad-Dua’ni. Beliau mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin Abdullah Baa Makhramah. 

Beliau gemar menekuni ilmu pengetahuan, sampai-sampai beliau mengkhatamkan Ihya’ Ulumuddin-nya Hujatul Islam Al-Ghazali sebanyak 40 kali dan mengkhatamkan kitab fiqih Syafi’iyah, Al-Minhaj karya Imam Nawawi sebanyak tiga kali. Di antara kebiasaan beliau adalah memberikan wejangan kepada masyarakat setelah sholat Jumat.

Beliau banyak melakukan ibadah dan riyadhoh. Pernah selama waktu yang cukup lama beliau berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau. Selama 90 hari beliau berpuasa dan sholat malam di lembah Yabhur. Dan selama 40 tahun beliau sholat subuh di Masjid Baa Isa, di kota Lisk, dengan wudhu Isya. 

Setiap malam beliau berziarah ke tanah pekuburan Tarim dan berkeliling untuk melakukan sholat di berbagai masjid di Tarim, dan beliau mengakhiri perjalanannya dengan sholat Subuh berjamaah di masjid Baa Isa. Sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah meninggalkan sholat witir dan dhuha. 

Sepanjang hidupnya beliau berziarah ke makam Nabiyullah Hud sebanyak 40 kali. Setiap malam, selama 40 tahun, beliau berjalan dari Lisk menuju Tarim, melakukan sholat pada setiap masjid di Tarim, mengusung air untuk mengisi tempat wudhu, tempat minum bagi para peziarah, dan kolam tempat minum hewan.

Banyak kitab manakib yang menceritakan riwayat hidup beliau. Dan pada malam Minggu, Dzulhijah 992 H, di kota I’nat, beliau berpulang ke Rahmatullôh.

Kata Mutiara dan Nasihat

· Barangsiapa mengenal dirinya, ia tidak akan melihat selain Allah. Barang siapa tidak mengenal dirinya, ia  tidak akan melihat Allah Ta’ala. 

· Setiap wadah itu memercikkan apa yang ditampungnya. 

· Barang siapa yang pada masa bidayah-nya tidak bermujahadah, ia tidak akan mencapai puncak. Dan barang siapa tidak ber-mujahadah, ia tidak akan ber-musyahadah. 

· Barang siapa tidak memelihara waktunya, ia tidak akan selamat dari bencana. 

· Barang siapa bergaul dengan orang-orang yang baik (akhyar), ia akan memperoleh berbagai pengetahuan dan asrar, dan barang siapa bergaul dengan orang-orang yang jahat, ia akan memperoleh aib dan siksa neraka. 

· Berbagai hakekat tidak akan diperoleh kecuali dengan meninggalkan berbagai penghalang (‘alaiq). 

· Dalam qana’ah terdapat ketentraman dan keselamatan, dalam tamak terdapat kehinaan dan
  penyesalan. 

· Orang yang arif melihat aib-aib dirinya, sedang orang yang lalai melihat aib-aib manusia lain. 

· Barang siapa diam ia akan selamat dan barang siapa berbicara ia akan menyesal. 

· Orang yang bahagia (sa’id) adalah orang yang disenangkan oleh Allah tanpa alasan tertentu dan orang yang sengsara (syaqi) adalah orang yang disengsarakan Allah tanpa sebab tertentu. Demikianlah menurut ilmu hakekat. Sedangkan menurut ilmu syariat, orang yang bahagia adalah orang yang oleh Allah diberi kesenangan dengan melakukan berbagai amal saleh, dan orang yang sengsara adalah orang yang disengsarakan oleh Allah dengan meninggalkan amal-amal saleh dan melanggar syariat agama. 

· Orang yang sengsara adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang melawan hawa nafsunya, berpaling dari alam untuk menoleh kepada Penciptanya, dan melewatkan waktu pagi dan sore dengan meneladani sunah nabinya. 

· Hendaklah kamu bersikap tawadhu’ dan tidak menonjolkan diri. Jauhilah sikap takabbur dan cinta kedudukan. 

· Kesuksesanmu adalah saat kamu membenci nafsumu dan kehancuranmu adalah saat kamu meridhoinya. Karena itu, bencilah nafsumu dan jangan meridhoinya, niscaya kamu akan berhasil meraih segala cita-citamu, Insyâ Allôh. 

· Orang yang arif adalah yang mengenal dirinya, sedangkan orang jahil adalah yang tidak mengenal dirinya. 

· Alangkah mudah bagi seorang arif untuk membimbing orang jahil, kadang kala kebahagiaan abadi dapat diraih hanya lewat sekilas pandangnya.

· Ridholah atas maqam apapun yang Allah berikan kepadamu. Seorang sufi berkata, “Selama lebih dari 40 tahun aku tidak pernah merasa benci pada maqam yang Allah berikan kepadaku.” 

· Berprasangka baiklah kepada sesama hamba Allah, sebab buruk sangka timbul karena tiadanya taufik. Ridholah selalu pada qadha`. Bersikap sabarlah,  walaupun musibah yang kamu alami teramat besar. 

· Dan tinggalkanlah hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagimu, benahilah dirimu sendiri dahulu. 

· Dunia adalah anak perempuan akhirat, barang siapa menikahi seorang perempuan, haram mengawini ibunya. 

· Berbagai hakekat terhijab dari hati karena perhatian kepada selain Allah. 

· Waktumu yang paling bermanfaat adalah di saat kamu fana’ dan waktumu yang paling sia-sia adalah di saat kamu menyadari dirimu. 

Diringkas dari:
Biografi Syeikh Abubakar bin Salim
Karya Habib Abdullah bin Ahmad Al-Haddar

Karya-karya beliau

Disamping Miftâhus Sarôir wa Kanzudz Dzakhôir, beliau juga menulis kitab lain yang diberi judul Mi’rôjul Arwâh dan Fathul Bâbil Mawâhib keduanya mengenai ilmu Haqiqah, Ma’arijut, Tauhid dan juga dîwan yang sangat tebal yang beliau tulis pada tahap awal suluk beliau.

Dari kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi

Sesungguhnya dalam kalam Habib Ali yang ditulis oleh Habib Umar bin Muhammad Mulakhela ini banyak sekali kisah yang berhubungan dengan Syeikh Abubakar bin Salim, tetapi dalam kesempatan ini hanya dikutip 4 kisah saja. 

Dalam kalam Habib Ali juga disebutkan bahwa diantara murid-murid Syeikh Abubakar bin Salim yang banyak itu terdapat 7 orang yang dipersiapkan dan dibina sendiri oleh Syeikh Abubakar, dan dari 7 orang itu terdapat 3 habaib yang tidak asing lagi bagi kita, yaitu: Habib Yusuf bin ‘Abid Al-Hasni Al-Maghribi, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Jufri, dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi.

Kisah Pertama

Syeikh Abubakar bin Salim meninggal dalam pangkuan Yusuf bin ‘Abid, salah seorang murid kesayangannya. Menjelang ajal gurunya, Yusuf bin ‘Abid mengulang-ulang ayat: falammâ qodhô zaidun minhâ wathoron, dengan harapan bahwa gurunya akan menyambut ucapannya itu dengan ayat lanjutannya: zawwajnâkahâ, yang maksudnya, sang Syeikh bersedia menurunkan seluruh ilmunya kepada Habib Yusuf bin Abid. 

Namun Syeikh Abubakar berkata, “Wahai Yusuf, semua ilmu yang telah kuajarkan kepadamu penuh dengan keberkahan, adapun mengenai sirku, andaikata tak dapat kutemukan seseorang yang pantas untuk menerimanya dari kalangan anak cucuku, maka ilmu itu akan kutanam di padang pasir ‘Inat.” (hal. 74)

Kisah Kedua

Beberapa orang yang saleh berpendapat bahwa setiap anak Syeikh Abubakar bin Salim telah mencapai setengah dari kewalian berkat doa orang tuanya. Kewalian dapat dicapai dengan takholli (membersihkan diri dari segala dosa) dan tahalli (membekali diri dengan berbagai amal saleh). Anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim telah meraih takholli dan mereka tinggal melaksanakan tahalli. Karenanya, dengan tingkat tawajjuh yang paling rendah, mereka akan berhasil meraih cita-cita mereka. (hal. 534)

Kisah Ketiga

Pada suatu saat Syeikh Abubakar bin Salim berniat belajar kepada Syeikh Ma’ruf yang tinggal di Syibam. Beliau terpaksa harus berhenti di pinggir kota Syibam, karena Syeikh Ma’ruf Ba Jammal belum berkenan menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Ma’ruf, “Anak Salim bin Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu, “Katakan kepadanya bahwa aku belum berkenan menerimanya.” 

Meskipun ayah beliau adalah seorang yang dihormati karena kesalehannya, Syeikh Abubakar bin Salim tetap bersabar di bawah teriknya matahari dan dinginnya angin malam. Beliau menguatkan hati dan mengendalikan nafsunya demi memperoleh asrar. 

Baru setelah lewat 40 hari beliau menerima kabar bahwa Syeikh Ma’ruf bersedia menemuinya. Syeikh Ma’ruf hanya memerlukan beberapa saat saja untuk menurunkan ilmu kepada beliau. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Ma’ruf, beliau mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangan beliau, “Selamat wahai Ibn Salim, selamat wahai Ibn Salim.” 

Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu dari beliau. Beliau pun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. 

Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Beliau menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya, dan kita ahlil bait, jika ber-tawajjuh untuk menuntut asrôr, akan berhasil dengan waktu lebih singkat. Yang menyebabkan kita tertinggal adalah karena kita menelantarkan diri kita, Barang siapa menelantarkan dirinya, ia akan hilang tersesat. Semoga Allah membimbing kita ke jalan para salaf kita yang saleh dan mengembalikan barokah dan asrôr mereka kepada kita. (hal. 104)

Kisah Keempat

Pada suatu kesempatan Syeikh Faris Ba Qais bersama para muridnya pergi ke Tarim. Ikut dalam rombongan Syeikh Faris 300 pemegang rebana yang mengiringi perjalanan itu dengan tabuhan rebananya. 

Setibanya di Tarim beliau bersama pengikutnya mengunjungi Habib Syeikh Alaydrus dan makan siang di sana dengan hidangan ala kadarnya. Setelah dilahap begitu banyak orang, hidangan yang sedikit ini ternyata masih tersisa + 25%-nya. 

Habib Syeikh bertanya kepada tamunya, “Sesungguhnya bagaimana adat kebiasaan penduduk Du’an dalam menjamu tamu?” “Adat kami adalah siapa yang menjamu makan siang, ia juga menjamu makan malam,” jawab Syeikh Faris. Setelah memohon keberkahan dari Allah, pada jamuan makan malam, Habib Syeikh dapat menjamu tamunya yang sangat banyak itu dengan sisa-sisa makanan siang yang tinggal sedikit saja.

Keesokan harinya Syeikh Faris berniat untuk menziarahi makam Nabiyullah Hud, beliau berkata kepada sejumlah habaib, “Ya habaib, kami membutuhkan seorang pengantar darimu, terus terang kami takut jika dalam perjalanan nanti ilmu kami dicuri orang.” 

Para Habaib menyanggupi, “Jangan khawatir, kami cukup mempunyai banyak orang berilmu disini, lagi pula mencuri ilmu bukanlah kebiasaan kami.” 

Syeikh Faris berkata, “Sesungguhnya yang kami takutkan adalah Syeikh Qudami, Ba Syuaib dan Ba Qu Syair. Dan nanti aku sendiri yang akan memilih pengantar itu.” Jawab para habaib, “Pilihlah siapa saja yang kamu sukai.” 

Mulailah Syeikh Faris mencari-cari orang yang dianggap mampu mengawal dia dan para pengikutnya, sampai akhirnya ia melewati Syeikh Abubakar bin Salim yang saat itu masih berusia 4 tahun, sedang bermain-main di jalan bersama teman sebayanya. “Aku pilih anak ini,” kata Syeikh Faris sambil menunjuk si kecil Abubakar bin Salim. 

Para habaib segera menjawab, “Anak kecil ini mana pantas mengawalmu?” Syeikh Faris berkata, “Aku adalah tamu kalian dan aku hanya menginginkan anak ini.” Para habaib kemudian mendatangi ibu Syeikh Abubakar bin Salim dan mengabarkan persoalan yang mereka hadapi. Ibu beliau berkata, “Anak ini masih kecil, cari saja yang lain.” Mereka menjawab, “Syeikh Faris hanya menginginkan anakmu.” Akhirnya sang ibu memberikan izin.

Syeikh Abubakar bin Salim kemudian digendong oleh pelayannya, Ba Qahawil, untuk mengawal Syeikh Faris dan rombongannya. Syeikh Umar Ba Makhramah, seorang wali Allah, yang ikut dalam rombongan Syeikh Faris memegang kepala Ba Qahawil sambil melantunkan syair yang diawali dengan bait-bait berikut:

   Semoga Allah membahagiakan temanmu,
   hai Ba Qahawil
   pohon kurma apa ini, masih kecil sudah berbuah
   Mereka menanamnya di waktu Dhuha
   dan sudah memanennya di waktu senja.

Kemudian Syeikh Umar mengusap kepala Syeikh Abubakar bin Salim sambil meneruskan syairnya: 

   Wahai emas sejati
   dengan pandangan-Nya Allah memeliharamu
   semua lembah yang luas menjadi kecil dibanding
   lembahmu

Habib Ali berkata, “Perhatikanlah! Sesungguhnya kehidupan yang nyaman, hanyalah kehidupan mereka, semua harta adalah harta mereka, dan seluruh perdagangan adalah perdagangan mereka.” (hal. 308)

N a s a b

Dari Mu’jamul Lathief
Keturunan Syeikh Abubakar bin Salim diantaranya adalah Al-Hamid, Bin Jindan, Al-Muhdar dan Al-Haddar.

Bin Jindan
Nasab mereka bersambung kepada Ali bin Muhammad bin Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim. Kadang kala anak cucu Ali bin Muhammad disebut sebagai bin Jindan bin Syeikh Abubakar bin Salim. (hal. 74)

Al-Hamid
Mereka adalah keturunan dari Al-Hamid bin Syeikh Abubakar bin Salim. (hal. 79)

Al-Muhdhar
Mereka adalah keturunan Umar Al-Muhdhar bin Syeikh Abubakar bin Salim. Ayah beliau memberi nama Umar Al-Muhdhar karena ingin bertabarruk dengan Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman As-Seggaf, juga dengan harapan agar anaknya dapat meneladani dan mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Umar Al-Muhdhar, seorang arif yang amat ia kagumi. (hal. 167)

Al Haddar
Mereka adalah keturunan Ahmad Al-Haddar bin Abdullah bin Ali bin Muhsin bin Husin bin Syeikh Abubakar bin Salim. Haddar berarti orang yang bersuara keras. Julukan ini diberikan karena beliau mempunyai kebiasaan meninggikan suara dalam berdakwah di jalan Allah. Dan ada pula yang menyebutkan bahwa sejak dalam kandungan ibunya ia telah mengeluarkan suara yang keras. Kalimat ini juga digunakan untuk menggambarkan orang yang sejak masa kanak-kanaknya telah mencapai puncak ketinggian ilmu. Orang awam sering mengibaratkan seorang yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasan dengan kalimat ‘fulan seperti telur ayam yang berkokok’. (hal. 190)

(Diringkas dari Al-Mu’jam Al-Lathief, karya Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Cet. I. 1986/1046 H, Alam Ma’rifah, Jeddah.)

Dari Syamsuz Zahirah 

Syeikh Abubakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman As-Seggaf, Sahib ‘Inat meninggal pada tahun 992 H. Beliau memiliki 4 orang puteri, yaitu: Fatimah, Aisyah, Alawiyah dan Thalhah. Dan 13 anak laki-laki yang masing-masing bernama Abdurrahman, Jakfar, Abdullah Al-Akbar, Salim, Al-Husin, Al-Hamid, Umar Al-Muhdhar, Hasan, Ahmad, Saleh, Ali, Syaikhan, dan Abdullah Al-Asghar.

Nasab Syeikh Abubakar bin Salim

 















Diringkas dari Syamsuz Zahirah, karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur, ‘Alam Ma’rifah, Jeddah, 1984/1404 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar